Senin, 07 Maret 2016

Sejenak

Sejenak aku berpikir arti dirimu dalam rutinitasku.
Kau selalu habiskan waktu bersamaku, tapi kini sibuk mengalahkan posisiku.
Sejenak, aku rindu.
Marahmu, bila hilang kabarku. Ocehanmu ku rekam dalam memori yang tak banyak ini. Semua pasti tentangmu.
Kau bahagiaku, mengerti akan diriku itu lah ahlinya mu. Tak pernah mengeluh dengan manjaku, dengan sabarmu aku luluh.
Sejenak bicara tentang jarak.
Kita terlalu bersahabat dengannya, tunggulah aku pulang dengan rasa yang masih sama.
Dalam sujud, namamu yang ku sebut.
Kain yang kau berikan akan selalu aku aplikasikan dalam taatku pada-Nya.
Sejenak dinding kamarku mentertawai keadaanku, yang selalu bayangkan bertemu denganmu. Biar saja ia tertawa, yang jelas aku merindu.
Malam, sama sepertimu yang kini aku tunggu. Biarkan aku yang bertanggung jawab atas ucapan selamat malam untukmu..
Bandung, Maret 2016

Nostalgia..

Masih teringat saat itu, dengan khusyuk nya kau menghafal asma Allah. Dengan bodohnya aku tak terima kau jauh lebih hafal dari ku. Trus aku melakukan hal bodoh, mengganggmu dan meminta "ayo bermain". Wajah merahmu saat keusilanku membingkai hari-harimu, wajahmu saat itu lucu sekali.
Perlombaan kita lewati bersama kau selalu dapat peringkat teratas, aku hanya bisa melihat peringkatmu dari urutan 26. Setiap waktu kita habiskan bersama tak ada masalah hanya dua saja masalah yang kita hadapi. Kita tak bisa lompat setinggi orang lain dan uang kas setiap hari Kamis sore saat dipengajian. Kini aku rindu akan itu semua, terutama wajah merahmu.
Selain itu aku juga rindu kata "payah" setiap kok bulu tangkis tembus melewati raket ku. Dalam hal apapun kau jauh lebih unggul.
Sekrang kau apa kabar? Aku dengar kau masuk Universitas terbaik di negeri ini. Kita semakin jauh, jarak dan derajat. Kau terus saja melambung tinggi, aku disini malah terhenti.
Oh ya, nyatanya rasa itu tak setegar yang kita bayangkan. Perlahan rasa itu hilang mungkin ia tak bisa bersahabat dengan waktu. Satu kata yang sampai sekarang belum pernah terucap "pamit" kau pergi tanpa pamit. Seenaknya saja, tinggalkan tanpa beban. Hilangnyamu hilang pula tawaku.
Aku terlambat akan sadar ini. Tapi justru kau lebih keterlaluan, belum sadar juga akan kehilangan.
Tapi aku dengar kau mencari tapi tak kembali.
Melihatmu dalam balutan kesuksesan sudah aku duga dari awal pertemanan kita. Tapi rasa hangatmu hilang, kini kau bukan lagi orang yang ku kenal. Dingin, dingin seperti bulan kemarin bahkan sikapmu terlalu dingin.
Satu janji yang belum tertepati, tapi itu sulit. Untuk bertemu denganmu saja aku hanya bisa berserah bukan tapi pasrah.
Teruntukmu, coba pahami dan yakinilah.
Bandung, Maret 2016)