Ini tentang hujan di Februari. Sampai pada akhir di bulan ini, aku masih tak mengerti ada apa hujan di Februari? Hingga ia begitu sadis menyeretku dalam luka yang kental. Ada apa di bulan Februari? Hingga rintiknya berkata, kamu. Tunggu, ternyata bukan kamu saja tapi ada tentang kita dalam genangannya. Benar tak ada arti, itu hanya genangan yang mengandung kenangan. Hujan di Februari, terlalu dingin tak jauh dengan sikapmu. Dingin ku tak mengerti, hilang hangatnya dirimu saat hujan di Februari. Bulan ini jauh berbeda dari sebelumnya. Secangkir kopi hangat dan senyum hangat yang tentunya lahir dari wajahmu. Menepis dingin yang menyelimut. Benar, tak ada lagi secangkir kopi dan, senyum itu.
Ada apa denganmu?
Apa kau benci hujan di Februari? Hingga begitu dingin kau kalahkan hujan di Februari.
Sapa, canda dan tawamu hilang. Bisu, kaku dalam sekejam. Bisa kau kemari? Kita ulangi kebiasaan saat hujan datang, akan ku buat hujan menahanmu di sini. Dengar coba kau dengar, tetesan hujannya memanggil namamu. Ini lucu, bukan aku saja yang merindu tapi dia juga. Hujan di Februari.
Kau datang diawal Februari dengan hangat langkah kakimu, nampak lelah lukisan wajahmu. Ingin sekali aku usap cairan yang keluar dari pori-pori wajahmu sambil berkata "jangan terlalu letih, aku takut kamu sakit!" sayang, itu hanya angan.
Kini, hujan di Februari menghapus langkahmu. Tak terlihat sedikitpun, bahkah kau pun dari jauh tak tercium. Sekarang kau dimana? Hilang dan tinggal kan cerita, kau bertingkah seenakmu saja! Awal kau buat suka dan berakhir dengan luka.
Sangat hangat ingatku, saat itu hujan membuat kau geram, tak bisa pulang meski sudah larut malam. Wajahmu lucu, sangat aku nikmati. Satu lagi, saat kau pulang kau selalu merusak tata rambutku dengan tangan jahilmu. Aku kesal! Tapi takan pernah bosan. Hujan di Februari..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar