Jumat, 08 April 2016

Maaf



Maaf..
Sungguh, maafkanlah aku..
Terlalu lancang memang..
Untukku yang dengan berani memasukanmu dalam sejarahku..
Menghadirkanmu dalam hidupku..
Maafkan aku bila aku keterlaluan..
Keterlaluan berharap kau memiliki rindu yang sama..
Maafkan aku yang selalu membicarakanmu,
Membicarakanmu tanpa kamu mengetahuinya..
Membicarakanmu setiap dini hari dengan-Nya..
Terlalu lancang memang..
Untukku, yang berdo’a kau lah yang kelak bersanding denganku..
Tapi tunggu, Boleh aku menuntut mu!
Kau pun begitu..
Cara kau terlalu lancang..
Hingga membuatku tak berhenti mengeja namamu..
Caramu terlalu keterlaluan,
Hingga aku kini begitu mencinta..
Kau yang berbuat,
Namun, aku yang menanggungnya..
Kau begitu manis tuan..
Tanpa permisi kau pun pergi..
Satu lagi, maaf tuan kau tak bisa pergi tanpa aku..
Kau sudah bertakdir untukku..
Kau pergi dengan memakai hak mu.
Dan aku pun  hanya sekedar memakai hak ku saja.

Hak ku tetap mencintaimu.

 


Bandung, 9 Februari 2016
Fitri Fitrotillah Abidin

Senin, 07 Maret 2016

Sejenak

Sejenak aku berpikir arti dirimu dalam rutinitasku.
Kau selalu habiskan waktu bersamaku, tapi kini sibuk mengalahkan posisiku.
Sejenak, aku rindu.
Marahmu, bila hilang kabarku. Ocehanmu ku rekam dalam memori yang tak banyak ini. Semua pasti tentangmu.
Kau bahagiaku, mengerti akan diriku itu lah ahlinya mu. Tak pernah mengeluh dengan manjaku, dengan sabarmu aku luluh.
Sejenak bicara tentang jarak.
Kita terlalu bersahabat dengannya, tunggulah aku pulang dengan rasa yang masih sama.
Dalam sujud, namamu yang ku sebut.
Kain yang kau berikan akan selalu aku aplikasikan dalam taatku pada-Nya.
Sejenak dinding kamarku mentertawai keadaanku, yang selalu bayangkan bertemu denganmu. Biar saja ia tertawa, yang jelas aku merindu.
Malam, sama sepertimu yang kini aku tunggu. Biarkan aku yang bertanggung jawab atas ucapan selamat malam untukmu..
Bandung, Maret 2016

Nostalgia..

Masih teringat saat itu, dengan khusyuk nya kau menghafal asma Allah. Dengan bodohnya aku tak terima kau jauh lebih hafal dari ku. Trus aku melakukan hal bodoh, mengganggmu dan meminta "ayo bermain". Wajah merahmu saat keusilanku membingkai hari-harimu, wajahmu saat itu lucu sekali.
Perlombaan kita lewati bersama kau selalu dapat peringkat teratas, aku hanya bisa melihat peringkatmu dari urutan 26. Setiap waktu kita habiskan bersama tak ada masalah hanya dua saja masalah yang kita hadapi. Kita tak bisa lompat setinggi orang lain dan uang kas setiap hari Kamis sore saat dipengajian. Kini aku rindu akan itu semua, terutama wajah merahmu.
Selain itu aku juga rindu kata "payah" setiap kok bulu tangkis tembus melewati raket ku. Dalam hal apapun kau jauh lebih unggul.
Sekrang kau apa kabar? Aku dengar kau masuk Universitas terbaik di negeri ini. Kita semakin jauh, jarak dan derajat. Kau terus saja melambung tinggi, aku disini malah terhenti.
Oh ya, nyatanya rasa itu tak setegar yang kita bayangkan. Perlahan rasa itu hilang mungkin ia tak bisa bersahabat dengan waktu. Satu kata yang sampai sekarang belum pernah terucap "pamit" kau pergi tanpa pamit. Seenaknya saja, tinggalkan tanpa beban. Hilangnyamu hilang pula tawaku.
Aku terlambat akan sadar ini. Tapi justru kau lebih keterlaluan, belum sadar juga akan kehilangan.
Tapi aku dengar kau mencari tapi tak kembali.
Melihatmu dalam balutan kesuksesan sudah aku duga dari awal pertemanan kita. Tapi rasa hangatmu hilang, kini kau bukan lagi orang yang ku kenal. Dingin, dingin seperti bulan kemarin bahkan sikapmu terlalu dingin.
Satu janji yang belum tertepati, tapi itu sulit. Untuk bertemu denganmu saja aku hanya bisa berserah bukan tapi pasrah.
Teruntukmu, coba pahami dan yakinilah.
Bandung, Maret 2016)

Minggu, 28 Februari 2016

Terlalu manis untuk berakhir (Februari)

Masih amat hangat kenangan diawal Februari, tentu saja ini tentang kamu dan kita. Awal Februari teramat berkesan untukku. Kau datang dengan hentakan kaki tak biasa, mengetuk pintu dengan sabar, berjalan dengan damai dan coba menghampiri. Bukan itu saja, kau datang dengan senyuman itu. Senyuman yg selalu melekat pekat dalam ingatan. Tatapan hangat itu juga jelas tergambar diwajah yang selalu ingin aku lihat. Ku kira itu hanya mimpi di siang yang tak terlalu bolong. Nyatanya itu bukan mimpi melainkan benar-benar terjadi. Dengan santainya aku sambut kedatanganmu. Saat itu aku berpikir masih bermimpi, biarkan saja aku ikutin alur kemana ia pergi. Kapan aku akan terbangun? Pertanyaan itu yang melayang. Bila memang ini hanya mimpi tak apalah, aku tak peduli. Dengan mimpi saja aku teramat bersyukur.
Sampai di tengah bulan Februari, kertas putih dia bersaksi atas mimpi dan impian-impian kita. Kata demi kata memenuhi kertas itu. Satu demi satu impian itu terlihat jelas. Kau dengan seriusnya mengukir impianmu, terlalu sibuk menata mimpi-mimpimu itu. Inginku tak banyak, hanya beberapa saja. Salah satu impianku yang ku tulis adalah melihat satu demi satu impianmu tercapai. Jadi, impianku itu bagaimana impianmu. Kau harus lebih berusaha keras, ditanganmu ada dua impian yang kau pegang, segala impianmu dan impianku.
Setelah mimpi, kita bahas tentang masa lalu. Cerita yang amat klasik pun tertuai hari itu. Banyak tokoh yang kita ceritakan, kau dengar aku dan aku dengar cerita kau. Kau tahu? Dua masa yang kita bahas, masa lalu dan masa depan nanti. Tak henti-hentinya kau buat aku jatuh dalam kagum. Artinya malam-malam ini aku harus susah panyah bernegosiasi dengan-Nya kembali. Meminta waktu lebih lama meminjammu dari-Nya. Semoga orang langit mendukung apa yang aku mau.
Kini tiba di akhir Februari, kau tak lagi datang. Telingaku tajam, selalu memperhatikan hentakan kaki itu. "Tap tap.." bukan, itu bukan hentakan kakimu. Benar kau tak datang.
Apa kau orang yang tak beraminkan? Tak lah, aku hanya perlu bersabar sampai nanti aku dengar hentakan kakimu itu lagi. Aku yakin kau akan kembali!
Bulan ini terlalu manis untuk berakhir.

Ada apa dengannya?



Ada apa dengannya?


Ada apa dengannya?
Hingga begitu tega merusak semuanya.
Ada apa dengannya?
Bertingkah seenaknya..
Datang dengan senyuman,
Hilang dan pergi tanpa sapaan..
Bertingkah semaunya..
Membuat orang jatuh cinta,
Dan pergi tanpa tanda cinta..
Ada apa dengannya?
Menata bingkai atas dasar cinta,
Menghancurkan atas dasar dusta..
Terlalu mudahkah untuknya,
Datang dan pergi sesuka hati,
Tanpa peduli ada hati yang terlukai..
Ada apa dengannya?
Hilang rasa hangatnya,
Dan terlalu dingin di bulan Februari..
Bisakah kembali,
Dan jelaskan apa yang terjadi di bulan Februari ini?

Bandung, 13 Februari 2016
Fitri Fitrotillah Abidin

Aku, Kau dan Kini

Aku, Kau, dan Kini

Aku batu sebelum bertemu..
Aku kaku sebelum mengenalmu..
Kau torehkan bahagiamu dalam hidupku..
Dan kini ada yang aneh..
Kini aku tak bisa melepas genggaman jemarimu..
Kau mampu buat aku terwata, bahkan metertawai hal yang tak lucu sekalipun bagi orang lain..
Hangat sapamu, canda dan tawamu..
Mampu melahirkan aku yang baru..
Caramu sederhana, namun demi apapun ini lebih dari apapun..
Mengartikan mu tak bisa ku lakukan..
Ini sulit,
Lidahku kelut,
Kataku kusut,
Tak ada sesuatu pun yang pantas menerjemahkan mu dalam hidupku..
Kau teramat cerdas tuan,
Membuat aku larut dalam bahagia yang pekat ini, hingga aku enggan keluar dari duniamu..
Kau teramat hebat tuan,
Aku tak kenal siapa aku yang dulu..
Dan kau teramat sangat..
Ingin aku miliki..
Mengingat saat bersamamu..
Kebahagiaan yang menyakitkan untuk ku rasakan..
Karena itu menyadarkan aku bahwa kita kan jarang bertemu seperti dulu..
Kenangan itu akan terpatrik kuat,
Satu pintaku,
Bila kenangan itu tak akan terulang, kenang lah..
Jemarimu yang nakal selalu membuat rambutku kusut..
Kini tak lagi bersama dengan kesendirianku lagi..
Tapi tak apa,
Yang harus kau tahu..
Aku akan bertahan, menunggumu..
Lakukan apa pun dan pergi lah kemanapun kau mau..
Karena aku percaya, cinta tau kemna harus ia kembali..
Kembalilah dengan ridha-Nya tuan..
Aku disini bersama rasa yang masih sama, mencintaimu..

Bandung, Februari 2016

-Faitrot

Ini tentang hujan di Februari. Sampai pada akhir di bulan ini, aku masih tak mengerti ada apa hujan di Februari? Hingga ia begitu sadis menyeretku dalam luka yang kental. Ada apa di bulan Februari? Hingga rintiknya berkata, kamu. Tunggu, ternyata bukan kamu saja tapi ada tentang kita dalam genangannya. Benar tak ada arti, itu hanya genangan yang mengandung kenangan. Hujan di Februari, terlalu dingin tak jauh dengan sikapmu. Dingin ku tak mengerti, hilang hangatnya dirimu saat hujan di Februari. Bulan ini jauh berbeda dari sebelumnya. Secangkir kopi hangat dan senyum hangat yang tentunya lahir dari wajahmu. Menepis dingin yang menyelimut. Benar, tak ada lagi secangkir kopi dan, senyum itu.
Ada apa denganmu?
Apa kau benci hujan di Februari? Hingga begitu dingin kau kalahkan hujan di Februari.
Sapa, canda dan tawamu hilang. Bisu, kaku dalam sekejam. Bisa kau kemari? Kita ulangi kebiasaan saat hujan datang, akan ku buat hujan menahanmu di sini. Dengar coba kau dengar, tetesan hujannya memanggil namamu. Ini lucu, bukan aku saja yang merindu tapi dia juga. Hujan di Februari.
Kau datang diawal Februari dengan hangat langkah kakimu, nampak lelah lukisan wajahmu. Ingin sekali aku usap cairan yang keluar dari pori-pori wajahmu sambil berkata "jangan terlalu letih, aku takut kamu sakit!" sayang, itu hanya angan.
Kini, hujan di Februari menghapus langkahmu. Tak terlihat sedikitpun, bahkah kau pun dari jauh tak tercium. Sekarang kau dimana? Hilang dan tinggal kan cerita, kau bertingkah seenakmu saja! Awal kau buat suka dan berakhir dengan luka.
Sangat hangat ingatku, saat itu hujan membuat kau geram, tak bisa pulang meski sudah larut malam. Wajahmu lucu, sangat aku nikmati. Satu lagi, saat kau pulang kau selalu merusak tata rambutku dengan tangan jahilmu. Aku kesal! Tapi takan pernah bosan. Hujan di Februari..