MAKALAH
PENDIDIKAN
KEWARGANEGARAAN
Disusun
oleh : Fitri Fitrotillah Abidin
NIM : D1A140901
Fakultas :
MIPA
Jurusan
: FARMASI
UNIVERSITAS
AL-GHIFARI BANDUNG
2014/2015
Kata
Pengantar
Puji syukur kita panjatkan kehadirat
Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita
semua, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah ini saya buat
guna membantu proses pembelajaran saya dan memenuhi tugas yang diberikan dosen
matakuliah Pendidikan Pancasila.
Demikian makalah ini saya buat.
Semoga bermanfaat bagi kita serta para pembaca. Saya juga berharap kritik dan saran atas
ketidaksempurnaannya makalah ini, agar saya lebih baik lagi untuk proses
kedepannya.
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Dalam perkembangan sistem pemerintahan
presidensial di negara Indonesia (terutama setelah amandemen UUD 1945) terdapat
perubahan-perubahan sesuai dengan dinamika sistem pemerintahan di Indonesia.
Hal itu diperuntukkan dalam memperbaiki sistem presidensial yang lama.
Perubahan baru tersebut antara lain, adanya pemilihan presiden langsung, sistem
bikameral, mekanisme cheks and balance dan pemberian kekuasaan yang lebih besar
pada parlemen untuk melakukan pengawasan dan fungsi anggaran.
Secara umum dengan dilaksanakannya
amandemen Undang-Undang Dasar 1945 pada era reformasi, telah banyak membawa
perubahan yang mendasar baik terhadap ketatanegaraan (kedudukan lembaga-lembaga
negara), sistem politik, hukum, hak asasi manusia, pertahanan keamanan dan
sebagainya. Berikut ini dapat dilihat perbandingan model sistem pemerintahan
negara republik Indonesia pada masa orde baru dan pada masa reformasi.
Masa
Orde Baru (1966-1998)
Orde baru lahir dengan diawali
berhasilnya penumpasan terhadap G.30.S/PKI pada tanggal 1 Oktober 1965. Orde
baru sendiri adalah suatu tatanan perikehidupan yang mempunyai sikap mental
positif untuk mengabdi kepada kepentingan rakyat, dalam rangka mewujudkan
cita-cita bangsa Indonesia untuk mencapai suatu masyarakat adil dan makmur baik
material maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 melalui
pembangunan di segala bidang kehidupan. Orde Baru bertekad untuk melaksanakan
Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Orde Baru ingin mengadakan
‘koreksi total’ terhadap sistem pemerintahan Orde Lama.
Pada tanggal 11 Maret 1966, Presiden
Soekarno mengeluarkan surat perintah kepada Letjen Soeharto atas nama presiden
untuk mengambil tindakan yang dianggap perlu guna mengamankan pelaksanaan UUD
1945 secara murni dan konsekuen, untuk menegakkan RI berdasarkan hukum dan
konstitusi. Maka tanggal 12 Maret 1966, dikeluarkanlah Kepres No. 1/3/1966 yang
berisi pembubaran PKI, ormas-ormasnya dan PKI sebagai organisasi terlarang di
Indonesia serta mengamankan beberapa menteri yang terindikasi terkait kasus
PKI. (Erman Muchjidin, 1986:58-59).
Orde Baru adalah sebutan bagi masa
pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama
yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru berlangsung dari tahun
1966 hingga 1998. Pada tahun 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk
masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik kembali secara
berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.
Masa
Reformasi (1998-sekarang)
Munculnya Era Reformasi ini menyusul
jatuhnya pemerintah Orde Baru tahun 1998. Krisis finansial Asia yang
menyebabkan ekonomi Indonesia melemah dan semakin besarnya ketidak puasan
masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan pimpinan Soeharto saat itu
menyebabkan terjadinya demonstrasi besar-besaran yang dilakukan berbagai organ
aksi mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia.
Pemerintahan Soeharto semakin disorot
setelah Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998 yang kemudian memicu Kerusuhan Mei
1998 sehari setelahnya. Gerakan mahasiswa pun meluas hampir diseluruh
Indonesia. Di bawah tekanan yang besar dari dalam maupun luar negeri, Soeharto
akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya.
Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada
tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya Orde Baru, untuk kemudian
digantikan "Era Reformasi". Masih adanya tokoh-tokoh penting pada
masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini sering membuat
beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir. Oleh karena itu
Era Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai "Era Pasca Orde
Baru".
1.2.
Rumusan Masalah
a. Apa
perbedaan masa orde baru dan reformasi mengenai posisi negara dan warga negara?
b. Apa
perbedaan masa orde baru dan reformasi dalam menyelesaikan persoalan negara dan
bangsa?
1.3.Tujuan
Dengan dibuatnya makalah ini kami
berharap dapat mencapai tujuan yang kami ingin inginkan yaitu dapat mempelajari
perbedaan antara masa orde baru dan masa reformasi mengenai posisi negara dan
warga negara serta dapat mengetahui perbedaan anatara masa orde baru dengan
masa reformasi dalam menyelesaikan persoalan negara dan bangsa.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Masa Orde Baru
Orde Baru adalah sebutan bagi masa
pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama
yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru berlangsung dari tahun
1966 hingga 1998. Pada tahun 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk
masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik kembali secara
berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Di dalam
Penjelasan UUD 1945, dicantumkan pokok-pokok Sistem Pemerintahan Negara
Republik Indonesia pada era Orde baru, antara lain sebagai berikut :
Indonesia
adalah negara hukum (rechtssaat)
Negara Indonesia berdasar atas hukum
(rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsaat). Ini
mengandung arti bahwa negara, termasuk di dalamnya pemerintah dan
lembaga-lembaga negara lain, dalam melaksanakan tugasnya/ tindakan apapun harus
dilandasi oleh hukum dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Sistem
Pemerintahan Presidensiil
Sistem pemerintahan pada orde baru
adalah presidensiil karena kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintah
dan menteri-menteri bertanggung jawab kepada presiden. Tetapi dalam kenyataan,
kedudukan presiden terlalu kuat. Presiden mengendalikan peranan paling kuat
dalam pemerintahan.
Sistem
Konstitusional
Pemerintahan berdasar atas sistem
konstitusi (hukum dasar). Sistem ini memberikan ketegasan cara pengendalian
pemerintahan negara yang dibatasi oleh ketentuan konstitusi, dengan sendirinya
juga ketentuan dalam hukum lain yang merupakan produk konstitusional, seperti
Ketetapan-Ketetapan MPR, Undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan sebagainya.
Diadakan tata urutan terhadap peraturan perundang-undangan. Berdasarkan pada
TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 urutannya adalah sebagai berikut :
a. UUD
1945
b. Ketetapan
MPR
c. UU
d. Peraturan
Pemerintah
e. Kepres
Peraturan pelaksana lainnya, misalnya
Keputusan Menteri, Instruksi Menteri, Instruksi Presiden dan Peraturan Daerah.
(Erman Muchjidin,1986:70-71).
Kekuasaan negara tertinggi di tangan
Majelis Permusyawaratan Rakyat. Kedaulatan rakyat dipegang oleh suatu badan
yang bernama MPR sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia Tugas Majelis
adalah:
a. Menetapkan
Undang-Undang Dasar
b. Menetapkan
Garis-garis Besar Haluan Negara
c. Mengangkat
kepala negara (Presiden) dan wakil kepala negara (wakil presiden)
Majelis inilah yang memegang kekuasaan
negara tertinggi, sedang Presiden harus menjalankan haluan negara menurut
garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh Majelis. Presiden yang diangkat
oleh Majelis, tunduk dan bertanggungjawab kepada Majelis. Presiden adalah
“mandataris” dari Majelis yang berkewajiban menjalankan ketetapan-ketetapan
Majelis.
Presiden
ialah penyelenggara pemerintah Negara yang tertinggi menurut UUD. Dalam
menjalankan kekuasaan pemerintahan negara, tanggung jawab penuh ada di tangan
Presiden. Hal itu karena Presiden bukan saja dilantik oleh Majelis, tetapi juga
dipercaya dan diberi tugas untuk melaksanakan kebijaksanaan rakyat yang berupa
Garis-garis Besar Haluan Negara ataupun ketetapan MPR lainnya.
Presiden
tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Kedudukan Presiden dengan DPR adalah
sejajar. Dalam hal pembentukan undang-undang dan menetapkan APBN, Presiden
harus mendapat persetujuan dari DPR. Oleh karena itu, Presiden harus bekerja
sama dengan DPR. Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan, artinya
kedudukan Presiden tidak tergantung dari Dewan. Presiden tidak dapat
membubarkan DPR seperti dalam kabinet parlementer, dan DPR pun tidak dapat
menjatuhkan Presiden.
Menteri
negara ialah pembantu Presiden, menteri negara tidak bertanggungjawab kepada
Dewan Perwakilan Rakyat.
Presiden memilih, mengangkat dan
memberhentikan menteri-menteri negara. Menteri-menteri itu tidak bertanggung
jawab kapada DPR dan kedudukannya tidak tergantung dari Dewan., tetapi
tergantung pada Presiden. Menteri-menteri merupakan pembantu presiden.
Kekuasaan
Kepala Negara tidak tak terbatas.
Meskipun kepala negara tidak bertanggung
jawab kepada DPR, tetapi bukan berarti ia “diktator” atau tidak terbatas.
Presiden, selain harus bertanggung jawab kepada MPR, juga harus memperhatikan
sungguh-sungguh suara-suara dari DPR karena DPR berhak mengadakan pengawasan
terhadap Presiden (DPR adalah anggota MPR). DPR juga mempunyai wewenang
mengajukan usul kepada MPR untuk mengadakan sidang istimewa guna meminta
pertanggungjawaban Presiden, apabila dianggap sungguh-sungguh melanggar hukum
berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya atau perbuatan tarcela.
Pada masa orde baru, pemerintah
menjalankan kebijakan yang tidak mengalami perubahan terlalu signifikan selama
32 tahun. Dikarenakan pada masa itu pemerintah sukses menghadirkan suatu
stablilitas politik sehingga mendukung terjadinya stabilitas ekonomi. Karena
hal itulah maka pemerintah jarang sekali melakukan perubahan-perubahan
kebijakan terutama dalam hal anggaran negara.
Pada masa pemerintahan orde baru,
kebijakan ekonominya berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi. Kebijakan ekonomi
tersebut didukung oleh kestabilan politik yang dijalankan oleh pemerintah. Hal
tersebut dituangkan ke dalam jargon kebijakan ekonomi yang disebut dengan
Trilogi Pembangungan, yaitu stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi yang
stabil, dan pemerataan pembangunan.
Hal ini berhasil karena selama lebih
dari 30 tahun, pemerintahan mengalami stabilitas politik sehingga menunjang
stabilitas ekonomi. Kebijakan-kebijakan ekonomi pada masa itu dituangkan pada
Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN), yang pada akhirnya
selalu disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk disahkan menjadi
APBN.
APBN pada masa pemerintahan Orde Baru,
disusun berdasarkan asumsi-asumsi perhitungan dasar. Yaitu laju pertumbuhan
ekonomi, tingkat inflasi, harga ekspor minyak mentah Indonesia, serta nilai
tukar rupiah terhadap dollar Amerika. Asumsi-asumsi dasar tersebut dijadikan
sebagai ukuran fundamental ekonomi nasional. Padahal sesungguhnya, fundamental
ekonomi nasional tidak didasarkan pada perhitungan hal-hal makro. Akan tetapi,
lebih kearah yang bersifat mikro-ekonomi. Misalnya, masalah-masalah dalam dunia
usaha, tingkat resiko yang tinggi, hingga penerapan dunia swasta dan BUMN yang
baik dan bersih. Oleh karena itu pemerintah selalu dihadapkan pada kritikan
yang menyatakan bahwa penetapan asumsi APBN tersebut tidaklah realistis sesuai
keadaan yang terjadi.
Format APBN pada masa Orde baru
dibedakan dalam penerimaan dan pengeluaran. Penerimaan terdiri dari penerimaan
rutin dan penerimaan pembangunan serta pengeluaran terdiri dari pengeluaran
rutin dan pengeluaran pembangunan. Sirkulasi anggaran dimulai pada 1 April dan
berakhir pada 31 Maret tahun berikutnya. Kebijakan yang disebut tahun fiskal
ini diterapkan seseuai dengan masa panen petani, sehingga menimbulkan kesan
bahwa kebijakan ekonomi nasional memperhatikan petani.
APBN pada masa itu diberlakukan atas
dasar kebijakan prinsip berimbang, yaitu anggaran penerimaan yang disesuaikan
dengan anggaran pengeluaran sehingga terdapat jumlah yang sama antara
penerimaan dan pengeluaran. Hal perimbangan tersebut sebetulnya sangat tidak
mungkin, karena pada masa itu pinjaman luar negeri selalu mengalir.
Pinjaman-pinjaman luar negeri inilah yang digunakan pemerintah untuk menutup
anggaran yang defisit.
Ini artinya pinjaman-pinjaman luar
negeri tersebut ditempatkan pada anggaran penerimaan. Padahal seharusnya
pinjaman-pinjaman tersebut adalah utang yang harus dikembalikan, dan merupakan
beban pengeluaran di masa yang akan datang. Oleh karena itu, pada dasarnya APBN
pada masa itu selalu mengalami defisit anggaran.
Penerapan kebijakan tersebut menimbulkan
banyak kritik, karena anggaran defisit negara ditutup dengan pinjaman luar
negeri. Padahal, konsep yang benar adalah pengeluaran pemerintah dapat ditutup
dengan penerimaan pajak dalam negeri. Sehingga antara penerimaan dan
pengeluaran dapat berimbang. Permasalahannya, pada masa itu penerimaan pajak
saat minim sehingga tidak dapat menutup defisit anggaran.
Namun prinsip berimbang ini merupakan
kunci sukses pemerintah pada masa itu untuk mempertahankan stabilitas,
khususnya di bidang ekonomi. Karena pemerintah dapat menghindari terjadinya
inflasi, yang sumber pokoknya karena terjadi anggaran yang defisit. Sehingga
pembangunanpun terus dapat berjalan.
Prinsip lain yang diterapkan pemerintah
Orde Baru adalah prinsip fungsional. Prinsip ini merupakan pengaturan atas
fungsi anggaran pembangunan dimana pinjaman luar negeri hanya digunakan untuk
membiayai anggaran belanja pembangunan. Karena menurut pemerintah, pembangunan
memerlukan dana investasi yang besar dan tidak dapat seluruhnya dibiayai oleh
sumber dana dalam negeri.
Pada dasarnya kebijakan ini sangat
bagus, karena pinjaman yang digunakan akan membuahkan hasil yang nyata. Akan
tetapi, dalam APBN tiap tahunnya cantuman angka pinjaman luar negeri selalu
meningkat. Hal ini bertentangan dengan keinginan pemerintah untuk selalu
meningkatkan penerimaan dalam negeri. Dalam Keterangan Pemerintah tentang RAPBN
tahun 1977, Presiden menyatakan bahwa dana-dana pembiayaan yang bersumber dari
dalam negeri harus meningkat. Padahal, ketergantungan yang besar terhadap
pinjaman luar negeri akan menimbulkan akibat-akibat. Diantaranya akan
menyebabkan berkurangnya pertumbuhan ekonomi.
Hal lain yang dapat terjadi adalah
pemerataan ekonomi tidak akan terwujud. Sehingga yang terjadi hanya perbedaan
penghasilan. Selain itu pinjaman luar negeri yang banyak akan menimbulkan
resiko kebocoran, korupsi, dan penyalahgunaan. Dan lebih parahnya lagi
ketergantungan tersebut akan menyebabkan negara menjadi malas untuk berusaha
meningkatkan penerimaan dalam negeri.
Prinsip ketiga yang diterapakan oleh
pemerintahan Orde Baru dalam APBN adalah, dinamis yang berarti peningkatan
tabungan pemerintah untuk membiayai pembangunan. Dalam hal ini pemerintah akan
berupaya untuk mendapatkan kelebihan pendapatan yang telah dikurangi dengan
pengeluaran rutin, agar dapat dijadikan tabungan pemerintah. Oleh karena itu,
pemerintah dapat memanfaatkan tabungan tersebut untuk berinvestasi dalam
pembangunan.
Kebijakan pemerintah ini dilakukan
dengan dua cara, yaitu derelgulasi perbankan dan reformasi perpajakan. Akan
tetapi, kebijakan demikian membutuhkan waktu dan proses yang cukup lama.
Akibatnya, kebijakan untuk mengurangi bantuan luar negeri tidak dapat terjadi
karena jumlah pinjaman luar negeri terus meningkat. Padahal disaat yang
bersamaan persentase pengeluaran rutin untuk membayar pinjaman luar negeri
terus meningkat. Hal ini jelas menggambarkan betapa APBN pada masa pemerintahan
Orde Baru sangat bergantung pada pinjaman luar negeri. Sehingga pada akhirnya
berakibat tidak dapat terpenuhinya keinginan pemerintah untuk meningkatkan
tabungannya (Adypato,2010)
2.2. Masa Reformasi
Munculnya Era Reformasi ini menyusul
jatuhnya pemerintah Orde Baru tahun 1998. Krisis finansial Asia yang
menyebabkan ekonomi Indonesia melemah dan semakin besarnya ketidak puasan
masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan pimpinan Soeharto saat itu
menyebabkan terjadinya demonstrasi besar-besaran yang dilakukan berbagai organ
aksi mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia.
Dalam
kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan (amandemen) yang
ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR:
a. Sidang
Umum MPR 1999, tanggal 14-21 Oktober 1999 → Perubahan Pertama UUD 1945
b. Sidang
Tahunan MPR 2000, tanggal 7-18 Agustus 2000 → Perubahan Kedua UUD 1945
c. Sidang
Tahunan MPR 2001, tanggal 1-9 November 2001 → Perubahan Ketiga UUD 1945
d. Sidang
Tahunan MPR 2002, tanggal 1-11 Agustus 2002 → Perubahan Keempat UUD 1945
Undang-Undang
Dasar 1945 berdasarkan Pasal II Aturan Tambahan terdiri atas Pembukaan dan
pasal-pasal. Tentang sistem pemerintahan negara republik Indonesia dapat
dilihat di dalam pasal-pasal sebagai berikut :
Negara
Indonesia adalah negara Hukum.
Tercantum di dalam Pasal 1 ayat (3).
Negara hukum yang dimaksud adalah negara yang menempatkan kekuasaan kehakiman
sebagai kekuasaan yang merdeka, menghormati hak asasi mansuia dan prinsip due
process of law. Pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang merdeka diatur dalam bab
IX yang berjumlah 5 pasal dan 16 ayat. (Bandingkan dengan UUD 1945 sebelum
perubahan yang hanya 2 pasal dengan 2 ayat). Kekuasaan kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan (Pasal 24 ayat 1 UUD 1945). Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha
negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Sedangkan badan-badan lainnya yang
fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.
Sistem
Konstitusional
Sistem Konstitusional pada era reformasi
(sesudah amandemen UUD 1945) berdasarkan Check and Balances. Perubahan UUD 1945
mengenai penyelenggaraan kekuasaan negara dilakukan untuk mempertegas kekuasaan
dan wewenang masing-masing lembaga-lembaga negara, mempertegas batas-batas
kekuasaan setiap lembaga negara dan menempatkannya berdasarkan fungsi-fungsi
penyelenggaraan negara bagi setiap lembaga negara. Sistem yang hendak dibangun
adalah sistem “check and balances”, yaitu pembatasan kekuasaan setiap lembaga
negara oleh undang-undang dasar, tidak ada yang tertinggi dan tidak ada yang
rendah, semuanya sama diatur berdasarkan fungsi-fungsi masing-masing.
Atas dasar semangat itulah perubahan
pasal 1 ayat 2, UUD 1945 dilakukan, yaitu perubahan dari “Kedaulatan ditangan
rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR”, menjadi “Kedaulatan di tangan rakyat
dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Ini berarti bahwa kedaulatan
rakyat yang dianut adalah kedaulatan berdasar undang-undang dasar yang
dilaksanakan berdasarkan undang-undang dasar oleh lembaga-lembaga negara yang
diatur dan ditentukan kekuasaan dan wewenangnya dalam undang-undang dasar. Oleh
karena itu kedaulatan rakyat, dilaksanakan oleh MPR, DPR, DPD, Presiden,
Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, BPK dan lain-lain sesuai
tugas dan wewenangnya yang diatur oleh UUD. Bahkan rakyat secara langsung dapat
melaksanakan kedaulatannya untuk menentukan Presiden dan Wakil Presidennya
melalui pemilihan umum.
Sistem
Pemerintahan
Sistem ini tetap dalam frame sistem
pemerintahan presidensial, bahkan mempertegas sistem presidensial itu, yaitu
Presiden tidak bertanggung jawab kepada parlemen, akan tetap bertanggung kepada
rakyat dan senantiasa dalam pengawasan DPR. Presiden hanya dapat diberhentikan
dalam masa jabatannya karena melakukan perbuatan melanggar hukum yang jenisnya
telah ditentukan dalam Undang-Undang Dasar atau tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden. DPR dapat mengusulkan untuk memberhentikan Presiden dalam
masa jabatannya manakala ditemukan pelanggaran hukum yang dilakukan Presiden
sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-Undang Dasar.
Kekuasaan
negara tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Sesuai
dengan Pasal 2 ayat (1) bahwa MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota Dewan
Perwakilan Daerah (DPD). MPR berdasarkan Pasal 3, mempunyai wewenang dan tugas
sebagai berikut :
·
Mengubah dan menetapkan Undang-Undang
Dasar.
·
Melantik Presiden dan/atau Wakil
Presiden.
·
Dapat memberhentikan Presiden dan/atau
Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD.
Presiden
ialah penyelenggara pemerintah Negara yang tertinggi menurut UUD.
Masih relevan dengan jiwa Pasal 3 ayat
(2), Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2). Presiden adalah kepala negara dan sekaligus
kepala pemerintahan. Pada awal reformasi Presiden dan wakil presiden dipilih
dan diangkat oleh MPR (Pada Pemerintahan BJ. Habibie, Abdurrahman Wahid, dan
Megawati Soekarnoputri untuk masa jabatan lima tahun. Tetapi, sesuai dengan
amandemen ketiga UUD 1945 (2001) presiden dan wakil presiden akan dipilih
secara langsung oleh rakyat dalam satu paket.
Presiden
tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Dengan memperhatikan pasal-pasal tentang
kekuasaan pemerintahan negara (Presiden) dari Pasal 4 s.d. 16, dan Dewan
Perwakilan Rakyat (Pasal 19 s.d. 22B), maka ketentuan bahwa Presiden tidak
bertanggung jawab kepada DPR masih relevan. Sistem pemerintahan negara republik
Indonesia masih tetap menerapkan sistem presidensial.
Menteri negara ialah pembantu Presiden,
menteri negara tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Presiden dibantu oleh menteri-menteri
negara. Menteri-menteri diangkat dan diberhentikan oleh presiden yang
pembentukan, pengubahan dan pembubarannya diatur dalam undang-undang (Pasal
17).
Kekuasaan
Kepala Negara tidak tak terbatas.
Presiden sebagai kepala negara,
kekuasaannya dibatasi oleh undang-undang. MPR berwenang memberhentikan Presiden
dalam masa jabatanya (Pasal 3 ayat 3). Demikian juga DPR, selain mempunyai hak
interpelasi, hak angket, dan menyatakan pendapat, juga hak mengajukan
pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas (Pasal 20 A ayat 2
dan 3).
Pada masa krisis ekonomi,ditandai dengan
tumbangnya pemerintahan Orde Baru kemudian disusul dengan era reformasi yang
dimulai oleh pemerintahan Presiden Habibie. Pada masa ini tidak hanya hal
ketatanegaraan yang mengalami perubahan, namun juga kebijakan ekonomi. Sehingga
apa yang telah stabil dijalankan selama 32 tahun, terpaksa mengalami perubahan
guna menyesuaikan dengan keadaan.
Pemerintahan presiden BJ.Habibie yang
mengawali masa reformasi belum melakukan manuver-manuver yang cukup tajam dalam
bidang ekonomi. Kebijakan-kebijakannya diutamakan untuk mengendalikan
stabilitas politik. Pada masa kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid pun,
belum ada tindakan yang cukup berarti untuk menyelamatkan negara dari
keterpurukan. Padahal, ada berbagai persoalan ekonomi yang diwariskan orde baru
harus dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme),
pemulihan ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs
rupiah. Malah presiden terlibat skandal Bruneigate yang menjatuhkan
kredibilitasnya di mata masyarakat. Akibatnya, kedudukannya digantikan oleh
presiden Megawati.
Masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri
mengalami masalah-masalah yang mendesak untuk dipecahkan adalah pemulihan
ekonomi dan penegakan hukum. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi
persoalan-persoalan ekonomi antara lain :
Meminta penundaan pembayaran utang
sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan
pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun.
Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi
adalah menjual perusahaan negara di dalam periode krisis dengan tujuan
melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan-kekuatan politik dan
mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan
ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi,
karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing.
Di masa ini juga direalisasikan
berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tetapi belum ada gebrakan
konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal keberadaan korupsi membuat banyak
investor berpikir dua kali untuk menanamkan modal di Indonesia, dan mengganggu
jalannya pembangunan nasional.
Masa Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono terdapat kebijakan kontroversial
yaitu mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM.
Kebijakan ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran
subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta
bidang-bidang yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan kontroversial pertama itu
menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT)
bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang berhak, dan
pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial.Kebijakan yang ditempuh untuk
meningkatkan pendapatan perkapita adalah mengandalkan pembangunan infrastruktur
massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing
dengan janji memperbaiki iklim investasi. Salah satunya adalah diadakannya
Indonesian Infrastructure Summit pada bulan November 2006 lalu, yang
mempertemukan para investor dengan kepala-kepala daerah.
Menurut Keynes, investasi merupakan
faktor utama untuk menentukan kesempatan kerja. Mungkin ini mendasari kebijakan
pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi kemudahan bagi investor,
terutama investor asing, yang salah satunya adalah revisi undang-undang
ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di Indonesia, diharapkan
jumlah kesempatan kerja juga akan bertambah.
Pada pertengahan bulan Oktober 2006 ,
Indonesia melunasi seluruh sisa utang pada IMF sebesar 3,2 miliar dolar AS.
Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi mengikuti agenda-agenda IMF
dalam menentukan kebijakan dalam negeri. Namun wacana untuk berhutang lagi pada
luar negri kembali mencuat, setelah keluarnya laporan bahwa kesenjangan ekonomi
antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan jumlah penduduk miskin meningkat
dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada bulan Maret
2006. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena pengucuran
kredit perbankan ke sector riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka
menyimpan dana di SBI), sehingga kinerja sector riil kurang dan berimbas pada
turunnya investasi. Selain itu, birokrasi pemerintahan terlalu kental, sehingga
menyebabkan kecilnya realisasi belanja Negara dan daya serap, karena
inefisiensi pengelolaan anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya
mengundang investor dari luar negri, tapi di lain pihak, kondisi dalam negeri
masih kurang kondusif (Adypato,2010).
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Pada masa orde baru Kekuasaan negara
tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Kedaulatan rakyat dipegang
oleh suatu badan yang bernama MPR. Presiden ialah penyelenggara pemerintah
Negara yang tertinggi menurut UUD. Menteri negara ialah pembantu Presiden,
menteri negara tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Pada masa pemerintahan orde baru,
kebijakan ekonominya berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi. Kebijakan ekonomi
tersebut didukung oleh kestabilan politik yang dijalankan oleh pemerintah. Hal
tersebut dituangkan ke dalam jargon kebijakan ekonomi yang disebut dengan
Trilogi Pembangungan, yaitu stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi yang
stabil, dan pemerataan pembangunan.
Pada masa reformasi kekuasaan negara
tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Presiden ialah
penyelenggara pemerintah Negara yang tertinggi menurut UUD. Presiden tidak
bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Masa reformasi, Pada
masa krisis ekonomi,ditandai dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru kemudian
disusul dengan era reformasi yang dimulai oleh pemerintahan Presiden Habibie.
Pada masa ini tidak hanya hal ketatanegaraan yang mengalami perubahan, namun
juga kebijakan ekonomi. Sehingga apa yang telah stabil dijalankan selama 32
tahun, terpaksa mengalami perubahan guna menyesuaikan dengan keadaan.
Daftar pustaka